Senin, 15 Mei 2017

My Brother, My Travel Mate



Kak Amenk, Saya dan Abil di atas bukit Rajasua Pulau Moyo

Abil. Mulutnya item habis makan cumi :P Lokasi: Tanjung Pasir Pulau Moyo
Karena beberapa kali menulis tentang Pulau Moyo di blog, saya akhirnya menjadi sasaran tempat bertanya teman-teman tentang pulau itu. Bertanya tentang transportasi menuju kesana, itinerary bahkan destinasi-destinasi apa saja yang harus dikunjungi selama di sana. Saya berasa menjadi pejalan yang bermanfaat bagi pejalan yang lain ketika apa yang saya tuliskan bisa menjadi rekomendasi perjalanan mereka. Dan selalu saja, Abil, adik bungsu saya, menjadi travel mate saya setiap ada teman yang meminta ditemani ke Pulau Moyo. Dia sangat menyukai laut. Tidak ada akhir pekan tanpa bermain dengan ikan-ikan di laut. Sampai Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Seperti liburan kali ini, Kak Amenk, kakak senior ketika di Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP Universitas Mataram meminta untuk ditemani ke Pulau Moyo. Kak Amenk mengabari bahwa libur 3 hari di bulan ini, dia akan datang ke Sumbawa bersama beberapa temannya. Beliau meminta saya untuk menemaninya ke Pulau Moyo, yah hitung-hitung reunian selama di BEM FKIP dulu. Abil menjadi orang pertama yang saya kabari perihal keberangkatan ke Pulau Moyo. Bagi saya dia adalah pawangnya Pulau Moyo. Selalu merasa aman jika melakukan perjalanan keliling pulau bersamanya. Tentunya saja karena dia selalu bisa memanjakan kakaknya ini dengan ikan-ikan segar dari laut Pulau Moyo.
“Wajar juga sih kalau adikmu itu jadi suka laut, Kakek dan Buyutmu juga banyak yang jadi pelaut. Jadi ya nular ke adikmu.” Kata Ibu suatu waktu. Semua anak-anaknya Ibu sangat menyukai laut, kecuali Huda adik saya yang nomor 1. Dia tidak begitu suka jalan-jalan, baginya istirahat yang paling enak itu ya berdiam diri di kamar. Beda dengan kita bertiga, istirahat yang paling enak itu ya jalan-jalan, main ke pulau, lalu tiduran di atas pasir putihnya dan memandangi langit biru Sumbawa.

Jumat, 12 Mei 2017

Tanjung Menangis yang Tak Lagi Menangis

camping ala ala di Tanjung Menangis




Jam berapa pulang dari kampus??
Nanti habis dari sana langsung ke rumah Bang Ega ya.
Jangan lama-lama pulangnya nanti kita kemalaman nyampenya.
Sms bertubi-tubi dari Putri yang membuat saya tak konsentrasi menyelesaikan pekerjaan di kampus.
Iya.
 Balas saya singkat.
Iya apanya ini? Aku sms panjang kamu  jawabnya cuma ‘iya’?
Putri yang tak terima dengan singkatnya jawaban saya membuatnya semakin cerewet meng-sms.
Bagaimana aku mau konsentrasi selesaikan kerjaan kalau kamu sms terus.
Pesan terakhir terkirim dan tak ada balasan lagi dari Putri. Terkadang perempuan itu memang cerewetnya tanpa batas. Wajar saja dalam setiap buku-bukunya, Raditya Dika selalu ingin ‘pura-pura mati’ jika dihadapkan pertanyaan seperti itu. Saya juga ingin ‘pura-pura mati’, ‘pura-pura cuek’ dengan sms bertubi-tubi dari Putri, tapi bukankah orang sabar itu enteng jodoh?? Hahahaha. Bersahabat dekat dengan Putri delapan tahun cukup buat kita saling memahami satu sama lain.
Akhir pekan ini, kita sudah berencana untuk kemah di salah satu tempat eksotis di Sumbawa. Tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat kota tetapi memiliki keindahan yang memikat hati. Tempat ini juga namanya lumayan mahsyur dalam legenda rakyat Sumbawa; Tanjung Menangis. Konon katanya, pada zaman dahulu kala Tanjung ini menjadi tempat seorang Putri Sumbawa menangisi kepergian laki-laki yang telah menyembuhkannya dari penyakit menahun yang bernama Kre Kure (penyakit kulit) yang tidak ada obatnya. Laki-laki tersebut bernama Zainal Abidin. Raja pada saat itu membuat sayembara, bahwa barang siapa yang berhasil menyembuhkan putri dari penyakitnya jika dia perempuan akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dinikahkan dengan sang putri. Akhirnya Zainal Abidin tergoda untuk mengikuti sayembara tersebut. Ketika menyembuhkan sang putri, Zainal Abidin menyamar menjadi seorang kakek tua renta dan berhasil menyembuhkan sang putri. Tetapi sangat disayangkan, Raja tidak ingin menikahkan putrinya dengan Zainal Abidin karena penampilannya yang sangat jelek dan tua.